Biogas dari Kotoran Sapi
Jum'at, 15desember 2010 | 07:13 WIB
TEMPO Interaktif, Donggala:
Bahan bakar pengganti minyak tanah ini dikembangkan oleh kelompok tani Pasanggani Limboro. Mereka bekerja sama dengan Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi yang dibiayai Asian Development Bank.
Tenaga teknisi biogas Limboro, Ahyar, mengatakan biogas itu berasal dari empat ekor sapi yang dikandangkan. Tiap sapi menghasilkan 10 kilogram kotoran, sehingga tiap hari tersedia 40 kilogram tahi sapi yang siap diolah menjadi biogas.
Pria 35 tahun itu mengatakan cara pembuatan gas itu lumayan gampang. Tiap pagi kotoran dikumpulkan dalam bak penampung dan dicampur dengan satu ember air, lalu campuran itu dialirkan ke dalam bak penampung dari plastik tebal berkapasitas 2 ton. Gas yang dihasilkan dialirkan melalui pipa menuju plastik penampungan. Gas yang tertampung ini kemudian dialirkan ke kompor gas.
Bak penampungan pertama, kata Ahyar, berisi gas kasar. Sedangkan bak penampungan kedua berisi gas bersih siap pakai.
Dari proses ini, tak cuma gas yang bisa dihasilkan, tapi juga pupuk kompos. Ampas dari bak penampungan pertama bisa dijadikan pupuk. "Ini juga banyak peminatnya karena kami jual murah, yakni Rp 6.000 per lima kilogram," katanya.
Saat ini sudah tiga rumah yang yang memakai gas dari tahi sapi itu. Penghematan jelas terasa bagi penggunanya. Setelah menggunakan biogas ini, istri Ahyar, yang sebelumnya butuh 20 liter minyak tanah tiap bulan, kini cukup membeli dua liter. "Kami bisa menghemat minyak tanah," katanya.
Selain ibu rumah, warga desa lainnya ikut senang. Biogas memiliki empat faedah, yaitu sapi tak lagi berkeliaran di jalan-jalan, karena dikandangkan, dan menghasilkan pupuk. Manfaat lain adalah membantu program penggemukan sapi serta meningkatkan harga sapi dua kali lipat karena sudah gemuk.
Rencananya, bak penampungan akan dibuat di beberapa tempat agar warga lainnya dapat menikmati gas itu. "Beberapa desa tetangga dan kecamatan lain di Donggala minta diajari membuat gas dari tahi sapi ini. Cuma kendalanya, kompor gas tidak tersedia karena perlu kompor khusus," kata Ahyar.
Anggota staf BPTP Sulawesi Tengah, Cahya Haerani, mengatakan teknologi biogas ini merupakan hasil rekayasa teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Transfer teknologi ini cocok diterapkan di Limboro karena memiliki banyak ternak sapi. Untuk mengatasi masalah kompor, kini sudah ada bengkel yang akan memproduksi. "Mudah-mudahan daerah lain bisa melakukannya untuk menghemat minyak tanah," kata Cahya.
Darlis
Selasa, 11 Desember 2007 20:12
Minyak Tanah Mahal, Warga Gunakan Biogas Kotoran Sapi
Kapanlagi.com - Mahalnya harga minyak tanah mendorong warga Desa Sukamaju, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas sebagai energi alternatif.
Seorang warga setempat, Abdul Majid (41) dan istrinya Ai Sa`adah (38) mulai membuat energi alternatif itu sejak tiga minggu yang lalu berkat bantuan dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi dan Disnak Kabupaten Sukabumi, sehingga keluarganya tidak perlu mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli minyak tanah.
"Biasanya kami menggunakan minyak tanah hingga tiga liter per hari. Dengan adanya tambahan biogas untuk memasak, saya hanya menggunakan minyak tanah dua liter untuk satu minggu," kata Abdul Majid di Sukabumi, Selasa.
Ia mengaku tidak mengeluarkan uang lebih untuk memasak.
"Kalau pun ada itu juga untuk membeli makanan sapi," katanya seraya menyebutkan sebanyak delapan KK sudah menggunakan biogas di Desa Sukamaju.
Cara membuat biogas tidak rumit, yakni satu ember kotoran sapi diaduk dengan satu ember air dalam sebuah drum. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bak berukuran satu kali empat meter, yang telah dibungkus dengan plastik.
Kotoran sapi yang mengendap, kemudian akan menghasilkan biogas dan bisa langsung digunakan. Gas yang sudah dalam bak penampungan tersebut, kemudian dialirkan dengan menggunakan selang menuju reaktor penampung gas berupa plastik besar.
"Dari penampung tersebut, langsung dialirkan ke kompor khusus yang bisa mengeluarkan api biru seperti dari kompor gas elpiji," katanya.
Menurut istri Majid, Ai Sa`adah (38), penggunaan kompor biogas tidak kalah dengan kompor gas elpiji.
"Api yang dikeluarkan oleh kompor biogas juga berwarna biru seperti gas elpiji, namun api gas elpiji lebih besar ketimbang kompor biogas," katanya seraya menambahkan penggunaan kompor biogas lebih irit dibandingkan kompor minyak tanah.
Sementara itu, Kepala Desa Sukamaju, Titin Suprihatin, mengatakan, di desanya, kini sudah ada delapan peternak sapi yang memproduksi biogas.
"Ke depan, kami berencana untuk terus menambah peternak yang bisa menggunakan kotoran sapi menjadi biogas," katanya seraya menambahkan biogas dari seorang peternak diperkirakan bisa digunakan oleh tiga kepala keluarga. (*/boo)
Masyarakat Kampar Gunakan Biogas Kotoran Sapi
Laporan Wartawan Kompas Neli Triana
PEKANBARU, KOMPAS - Masyarakat Kabupaten Kampar, Riau, terutama masyarakat Desa Pulau Payung, mulai merintis menggunakan biogas dengan memanfaatkan kotoran sapi dan kerbau.
“Masyarakat Kampar telah menyadari potensi yang dimiliki dan mampu memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hal ini, akan didukung oleh pemerintah daerah dan pusat. Termasuk pengembangan bisnisnya,” kata Menteri Negara Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Surya Dharma Ali.
Surya Dharma Ali akhir pekan ini berada di Riau, tepatnya berkunjung di Pusat Pertanian Terpadu Desa Kubang Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kampar didampingi Bupati Kampar Jefry Noer. Surya Dharma khusus hadir di Kampar untuk membuka Pendidikan dan Pelatihan Pertanian Terpadu yang diikuti oleh perwakilan petani dari seluruh Kampar.
Diklat terpadu ini berlangsung enam bulan terakhir, khususnya melatih peserta memproduksi biogas. Peserta pelatihan diharapkan mampu memanfaatkan untuk dirinya dan lokasi sekitar tempat tinggal. Target jangka panjangnya dibentuknya koperasi untuk membangun instalasi biogas, sehingga energi alternatif ini mampu diproduksi massal dan dipasarkan.
Jefry Noer mengatakan, pemerintah kabupaten memang langsung cepat merespon saat mengetahui kegunaan lain kotoran sapi dan kerbau. Pemkab Kampar membangun kawasan pertanian terpadu dan menjalin kerjasama dengan tenaga ahli dari Institute Pertanian Bogor (IPB).
Menurut Jefry, kini hampir dua minggu sekali diadakan pelatihan rutin pembuatan biogas secara bergantian bagi masyarakat, khususnya petani. Instalasi bahan bakar biogas sangat sederhana, berupa satu drum diisi kotoran sapi atau kerbau seberat 250 kilogram.
Setelah didiamkan selama 16 – 21 hari, gas otomatis telah dihasilkan dan siap dialirkan. Total biaya pembuatan instalasi biogas ini Rp 600.000. Selanjutnya, petani cukup mengisi drum tersebut dengan kotoran sapi sebagai pasokan bahan dasar seberat 15 – 20 kilogran setiap hari.
Energi Rumah Tangga
Biogas yang Penuh Manfaat...
Sukamti (37) kini tak perlu lagi membeli isi ulang gas untuk
menyalakan kompornya di dapur. Berkat kotoran dari sapi yang diternak
di belakang rumahnya, kebutuhan gas untuk menyalakan kompor di
rumahnya dapat terpenuhi setiap hari.
Tak hanya itu, limbah cair dari kotoran sapi yang diproses menjadi
biogas itu dapat digunakan untuk pupuk organik. "Lumayan sejak
mengolah biogas dari kotoran sapi ini. Kebutuhan bahan bakar dan pupuk
dapat terpenuhi semuanya dari hasil pengolahan kotoran sapi itu
menjadi biogas," jelasnya, Kamis (27/7).
Namun, daur ulang kotoran ternak menjadi biogas yang menghasilkan
manfaat cukup banyak ini baru dijalankan oleh Slamet Supriyadi (43)
dan istrinya, Sukamti, dari seluruh petani di Kabupaten Purworejo.
Untuk pertama kalinya Slamet mengaku mengenal teknologi pengolahan
kotoran sapi menjadi biogas ini dari seorang petani di Kulon Progo, DI
Yogyakarta.
Dengan bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Purworejo yang
peduli terhadap pertanian, Slamet dapat mempelajari dan membangun
sistem pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Meski untuk itu, ongkos
yang dikeluarkan mencapai Rp 9 juta lebih. Dan sistem pengolahan
biogas itu ia bangun di belakang rumahnya, berdekatan dengan kandang
sapi.
Di bawah tanah seluas lebih dari 40 meter persegi, dibangun dua ruang
berbentuk mangkuk terbalik. Ruang pertama dipergunakan sebagai ruang
penampungan kotoran sapi dan ruang kedua dipergunakan sebagai ruang
kontrol volume kotoran sapi dan volume limbah cair yang dihasilkan.
Slamet menjelaskan, setiap hari ruang penampungan kotoran sapi itu
dapat menampung kotoran sapi sebanyak apa pun. Hal ini karena sistem
pengolahan biogas dari kotoran sapi ini dibangun dengan sistem saling
berhubungan antara ruang penampungan dengan ruang kontrol.
"Kalau sampai terjadi kelebihan volume, kotoran sapi itu akan mengalir
ke ruang pengontrol. Dari situ ketahuan kalau volume di ruang
penampung sudah penuh," ungkapnya.
Dari hasil pengolahan biogas ini, Slamet memang dapat mempergunakan
limbah kotoran ternak semaksimal mungkin. Apalagi semua limbah organis
dari rumah tangga juga dapat dimasukkan ke dalam pengolahan biogas
ini.
Ia mengatakan, pengolahan biogas dari kotoran sapi ini sepenuhnya
menguntungkan petani. Selain memberikan energi rumah tangga secara
gratis, dapat memperoleh pupuk sekaligus. (Madina Nusrat)
Nusantara
Sabtu, 12 Januari 2008
Kotoran Sapi Mengatasi Kelangkaan Minyak Tanah
Meski masih sehat, Odih Hidayat (56) tak kuasa mandi air dingin setiap
hari. Pagi dan sore, air di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat, terasa dingin menusuk tulang. "Saya mah mandi
air hangat tiap hari," kata ketua kelompok tani sapi perah Mekar Sari
ini, Jumat (11/1).
Dalam kondisi kelangkaan minyak tanah seperti saat ini, memanaskan air
untuk mandi terlihat sebagai pemborosan.
Namun, Odih dan enam anggota keluarganya tak merasakan kesulitan itu.
Sebuah reaktor biogas mini di belakang rumahnya menjadi pemasok bahan
bakar untuk keperluan rumah tangga sejak pertengahan tahun 2005. Letak
reaktor tepat di samping kandang terbuka berisi 20-an ekor sapi perah.
Dilihat sekilas, reaktor berkapasitas 4.000 liter itu tampak sebagai
kantung plastik tebal semata. Demikian pula tempat penampung gas
berupa kantung plastik yang lebih tipis.
Tiap pagi, sekitar 120 kilogram (kg) kotoran sapi dicampur air
dimasukkan dalam potongan drum yang dihubungkan ke reaktor.
Perbandingan volume air dan kotoran sapi adalah 1:1. Proses
mikrobiologis dengan bantuan jutaan bakteri dalam reaktor akan
menghasilkan gas metan. Gas dialirkan dalam kantung plastik penampung
yang dihubungkan ke dua kompor di dapur Odih. Nyala api yang
dihasilkan berwarna biru, tidak berbau, dan tidak berasap.
Proses produksi gas berlangsung terus-menerus sepanjang kotoran sapi
rutin dipasok. Namun, reaktor tidak akan pernah penuh karena ada
saluran untuk membuang kotoran sapi yang telah terproses. Dengan
pengeringan tradisional, ampas kotoran sapi ini bisa menjadi kompos
siap pakai.
Bukan hanya Odih yang menikmati keuntungan pemakaian biogas.
Masyarakat peternak sapi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari,
Kabupaten Bandung, juga merasakan hal serupa. Di desa ini ada juga
reaktor berukuran besar untuk bersama. Gas yang dihasilkan bisa
digunakan oleh 12 rumah tangga.
"Dulu kami yang memasang reaktor biogas di desa itu," kata pelaksana
teknis PT Mulya Tiara Nusa (MTN), Charles Purba.
Charles mengatakan, konsumsi rata-rata minyak tanah rumah tangga di
Indonesia dua liter per hari. Untuk menghasilkan gas setara dua liter
minyak tanah, butuh empat meter (m) kubik kotoran sapi. Itu sebabnya
reaktor biogas butuh tempat cukup longgar. Untuk tempat reaktor,
diperlukan lahan 1,5 m x 5 m.
Ia menyadari, harga instalasi Rp 3 juta pada pemasangan awal cukup
mahal. Namun, kata dia, keuntungan yang didapat lebih dari harga yang
dibayar.
Charles mengakui, adopsi teknologi biogas belum menggembirakan. Ia
menilai sosialisasi manfaat dan penggunaan biogas masih kurang gencar.
Dana yang dialokasikan untuk program ini juga masih terbatas.
Akibatnya, penggunaan biogas belum berkembang luas. (LIS DHANIATI)
Minyak Tanah Langka? Ada Tahi Sapi Kok!
NONENG (25) memperlihatkan tangki biogas dari kotoran sapi yang berada di Kp. Pajaten, Desa Tarumajaya, Kec. Kertasari, Kab. Bandung, Minggu (6/1). Reaktor biogas komunal itu dapat dipergunakan untuk 12 KK.* DENI YUDIAWAN/"PR"
MINYAK tanah menjadi barang paling langka yang banyak dicari orang saat ini. Orang rela mengantre dan saling bersikutan hanya untuk mendapat beberapa liter minyak tanah. Dengan harga yang melambung pun, minyak tanah tetap dibeli karena memang tak ada pilihan lain.
Untungnya, tak semua anggota masyarakat menengah ke bawah melakukan hal yang sama. Salah satunya, masyarakat peternak sapi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Meski harga minyak tanah terus melambung, masyarakat di pinggiran pegunungan Wayang-Windu itu tak terlalu ambil pusing. Mereka pun tak bergantung pada kayu bakar yang biasa dijadikan bahan substitusi minyak tanah di perdesaan. Keberadaan energi biogas dari kotoran sapi dalam tangki komunal ataupun perseorangan kini menjadi bahan utama untuk masak sehari-hari yang murah meriah.
Noneng (25), warga Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya adalah salah satu contohnya. Selama dua tahun terakhir, dia mengaku tak pernah lagi membeli minyak tanah atau mencari kayu bakar ke hutan untuk kebutuhan memasak. Reaktor biogas telah memasok kebutuhan itu nonstop 24 jam. Berbeda dengan reaktor skala rumah tangga biasa, reaktor biogas yang digunakan Noneng bersifat komunal dengan ukuran silinder superbesar, diameter dan kedalaman masing-masing 4 meter. Reaktor yang dibangun sejak 2005 itu dapat menyuplai 12 kepala keluarga (KK). Mereka memanfaatkan limbah kotoran sapi sebagai bahan bakar reaktor tersebut.
Baru satu tangki reaktor biogas superbesar yang telah dibangun dan berfungsi di Desa Tarumajaya saat ini. Terdapat empat reaktor biogas raksasa lainnya yang kini masih dalam tahap pembangunan. Tak hanya itu, puluhan reaktor biogas kecil lainnya dimiliki secara perseorangan. Kebanyakan penerapan daya guna biogas itu adalah bantuan dari program yang digulirkan pemerintah Provinsi Jabar dan Pemkab Bandung.
"Perasaan waswas atas keamanannya sih pasti ada. Apalagi tangkinya berada tepat di depan rumah. Namun, setelah dua tahun berjalan, sama sekali tak ada masalah, sampai sekarang," kata Noneng yang memiliki dua belas sapi perah itu. Dia menggunakan energi biogas itu untuk masak sehari-hari, termasuk memanaskan susu yang baru diperah. Saking berlimpahnya energi biogas dari tangki komunal itu, dia dapat memanfaatkanya untuk menyalakan generator jika suatu saat listrik dari PLN mendadak padam.
Sejak masyarakat Desa Tarumajaya yang terletak di hulu Sungai Citarum itu memanfaatkan biogas, kebutuhan akan minyak tanah menurun drastis. Meskipun dibutuhkan, paling hanya untuk menutupi kekurangan energi biogas yang digunakan. "Di sini harga minyak tanah mencapai Rp 4.000,00 per liter. Alhamdulillah, sejak tujuh bulan lalu saya tak pernah beli minyak tanah, apalagi masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar," tutur Atep Solihin (27), warga pengguna biogas di Kp. Lembangsari, Desa Tarumajaya.
Kelestarian lingkungan adalah salah satu pengaruh positif lainnya sejak penggunaan biogas ini. Data berbagai penelitian menyebutkan, Sungai Citarum sudah tercemar hanya beberapa ratus meter dari sumbernya. Kotoran sapi yang dibuang langsung ke sungai adalah penyebabnya. Sejak dilakukan pengolahan biogas, kotoran sapi tak lagi dibuang ke sungai melainkan dapat langsung dimanfaatkan menjadi pupuk pertanian.
"Bahkan, kotoran sisa biogas itu dapat dicampur dengan dedak menjadi pakan ikan. Pencemaran pun dapat direduksi," kata Dede Juhari, Ketua Kelompok Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA). Dede bersama kelompoknya adalah salah satu penggagas reaktor biogas komunal sekaligus membuat sejumlah kolam resapan yang ditanami ikan air tawar. Selain untuk perbaikan lingkungan, kolam resapan itu juga dijadikan sumber pendapatan alternatif masyarakat yang semula perambah hutan.
Menurut Dede, peternak sapi perah di Kertasari sekitar 3.500 orang dengan jumlah populasi sapi perah mencapai 6.000 ekor. Sayangnya, reaktor biogas hanya mampu menampung sedikit kotoran yang diproduksi tiap hari. Sebagai gambaran, satu ekor sapi perah dewasa dapat memproduksi sekitar 14 kg kotoran setiap hari. Karena tak tertampung dalam biogas, peternak tetap membuangnya ke sungai.
"Tak kurang dari 40 ton kotoran sapi masuk ke Sungai Citarum setiap hari. Kita masih membutuhkan lebih banyak lagi reaktor biogas untuk masyarakat," ucap Dede.
Jadi, nggak ada minyak tanah, nggak masalah, kan? (Deni Yudiawan/"PR"/Usep Usman Nasrulloh)***
Penulis:
Back
© 2007 - Pikiran Rakyat Bandung
Biogas Pertama Srigading: Slamet Sulap Kotoran Sapi Jadi Bahan Bakar
Published Date: January 2nd, 2008
Category: Penyediaan Jasa Lingkungan, Berita ESP, ESP Jawa Timur
Di Mendek, pahlawan yang dielu-elukan bukan tokoh super yang bisa terbang. Tapi seseorang yang membuktikan bahwa kegiatan menyelamatkan lingkungan dan menghemat energi dapat berjalan bersama
Malang. Slamet, 37, adalah warga dusun Mendek di desa Srigading yang memiliki kegigihan dan keuletan yang sedang menjadi pembicaraan desa berpenduduk 4.780 orang itu.
Seperti daerah pedesaan lain di Indonesia, Srigading sangat terpukul dengan naiknya harga minyak tanah dan untuk memasak kini mereka terpaksa menggunakan kayu bakar. Slamet dan istrinya tak punya pilihan kecuali mendaki tebing-tebing terjal Pegunungan Tengger demi mendapatkan ranting kering untuk memasak. Bukan hanya lelah yang didapat, tuduhan sebagai perambah hutan yang merusak lingkungan sering dialamatkan kepada mereka.
Untuk menambah pengetahuan masyarakat seputar perlindungan hutan dan mata air di desa asal mata air Sumber Jengkol itu, ESP memulai program Sekolah Lapangan pada Februari 2007. Sebagai salah seorang peserta, banyak ilmu seputar perlindungan hutan dan mata air yang didapat oleh Slamet. Salah satunya seputar cara-cara kreatif untuk mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus menambah penghasilan. Contohnya, menyulap kotoran sapi yang banyak terdapat di Mendek, menjadi biogas, bahan bakar alternatif untuk memasak.
Biogas tidak merusak lingkungan karena CO2 yang dihasilkan langsung dapat diserap tanaman sehingga emisi yang dihasilkan di atmosfer sangat sedikit.
Pengetahuan baru ini menginspirasi Slamet untuk meningkatkan taraf hidupnya tidak hanya melalui susu tapi juga kotoran yang diproduksi dua ekor sapi miliknya. Bulan Juli sampai Oktober, bersama 25 orang warga Mendek yang lain, Slamet mengunjungi desa Toyomerto di Batu untuk belajar cara membuat biogas dari kotoran sapi. Desa Toyomerto dikenal sebagai salah satu sentra biogas di Kota Batu dan memiliki populasi sapi 2.000, alias dua kali lipat dari jumlah penduduknya.
Berbekal uang tabungan Rp. 1,2 juta, Slamet memulai konstruksi biodigester yang terdiri dari dua bak untuk memproses kotoran sapi menjadi biogas. Untuk menghasilkan biogas yang cukup dipakai memasak selama berhari-hari, Slamet memasukkan 40 kilogram kotoran dari dua ekor sapi miliknya ke dalam bak penampung setiap dua hari sekali. Kotoran tersebut kemudian dicampur dengan air dan didiamkan selama 6 hari sampai membusuk. Campuran air dan kotoran sapi ini akan memproduksi gas yang dihubungkan ke bak kedua dengan pipa PVC. Sebuah pipa yang lain akan mengalirkan gas dari bak penampung ke kompor, dan biogas pun siap dipakai untuk memasak.
Enam hari setelah menyelesaikan konstruksi biodigesternya, Slamet berhasil menyalakan api di kompor gasnya menggunakan gas alternatif tersebut. Kotoran sapi yang selama ini terbuang percuma, kini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Warga Srigading pun ramai membicarakan “proyek halaman belakang” di rumah Slamet.
“Yang bikin bangga, ternyata saya bisa juga menyulap kotoran sapi jadi api,” kata Slamet sambil tertawa.
Dalam beberapa minggu, Slamet mulai kebanjiran pesanan membuat biodigester dari warga Srigading. Slamet menolak tawaran-tawaran itu karena merasa masih perlu banyak belajar untuk menyempurnakan konstruksi biodigesternya sebelum menerima pesanan dari orang lain.
“Saya akan terus belajar, karena kelak saya akan memberi contoh kepada orang-orang yang ingin membuat biodigester. Semakin bagus konstruksi saya, semakin besar kemungkinan orang-orang di Srigading memiliki biodigester yang bagus.”
Dhina Mustikasari & Bintoro W. Prabowo, ESP Jawa Timur
Cara Membuat Biogas dari Kotoran Hewan
ENERGI DARI KOTORAN SAPI UNTUK MASAK, PENERANGAN DAN LEMARI PENDINGIN
Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Pepatah itu dilaksanakan oleh
Kelompok Alam Lestari Cangkola, Sumatera Barat yang jauh-jauh melakukan studi banding
ke Yogyakarta, Magelang, dan Banjarnegara.
Foto Nining Erlina Fitri
Keinginan peserta musyarawah Jurong Gantiang Koto Tuo yang ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada bahan bakar minyak dan kayu bakar makin menguat. Sementara para petani Jorong Gantiang Koto Tuo yang sudah lama mempraktikkan pertanian organik belum puas melihat hasilnya.
Beberapa petani di Jorong Gantiang Koto Tuo melakukan studi banding ke lahan Institut Pertanian Organik (IPO) di Aia Angek yang dibangun oleh Kepala Dinas Pertanian Tingkat I Sumatera Barat. Lalu pada 11 Februari 2007, beberapa orang petani mengikatkan diri dalam sebuah kelompok yang akan menerapkan pertanian alami di Jorong. Mereka memberi nama kelompok itu Alam Lestari.
Kemudian kelompok melakukan studi banding pertanian organik ke Banjarnegara, dan belajar teknologi Biogas di Yogyakarta. Lembaga Ekonomi Jorong memilih tiga orangn petani, Bulkanedi Sati Batuah, Yotri St. Batuah, dan Analis untuk mengikuti studi banding tersebut.
Belajar Teknologi Biogas dan Pertanian Alami.
Foto diambil dari Kompas, Oktober 2007
Di kampung halaman, Pak Tuah, Pak Jorong, dan Tek Malih pernah membuat gas sederhana menggunakan drum. Tapi di Lembaga Pengembangan Teknologi Berbasis Masyarakat (LPTP) Kayen, Yogyakarta, mereka menyaksikan instalasi gas permanen yang sangat menarik. LPTP mengembangkan tiga jenis biogas berdasarkan sumber penghasil gas, yaitu biogas dari kotoran manusia, kotoran ternak, dan limbah tahu. Di kantor LPTP telah terpasang sebuah instalasi biogas dari kotoran manusia. Mereka memanfaatkannya untuk memasak, kulkas, penerangan dan pemanas air. Risiko kebakaran dan ledakan juga rendah.
"Pada prinsipnya pembangunan instalasi biogas untuk segala jenis kotoran sama, yang membedakan hanya jenis pembuangannya saja," jelas Nining Community Organizer yang mendampingi Jorong Gantiang Koto Tuo, Sumatera Barat. Instalasi biogas dari kotoran manusia lebih rumit dibandingkan bangunan biogas dari limbah lainnya. "Kotoran manusia mengandung unsur-unsur yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Sehingga dibutuhkan bak-bak penyaringan untuk menyaring ampas buangan tersebut sebelum di salurkan ke sungai".
Untuk membangun sebuah instalasi biogas (Biodigester) yang bisa memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, sebuah rumah tangga harus memiliki minimal 3 ekor sapi. Energi dari tiga ekor sapi ini bisa dimanfaatkan untuk memasak, memanaskan air, penerangan (lampu petromaks) dan untuk lemari pendingin.
Di Banjarnegara, para peserta menimba ilmu pertanian alami dari Setyastuti Orbaningsih, Technical Assistant (TA) Bina Desa. Mereka mempelajari pembuatan pupuk, nutrisi, mikroba, teknis penerapannya, lahan pertanian (sawah kering, kolam), ternak, pertanian konvensional, pertanian kimia, pertanian organik, semi organik, pertanian alami, menejemen pertanian alami, kunjungan lapangan, dan industri rumah. Selain itu, mereka mempelajari pengelolaan limbah pertanian, seperti limbah ternak sapi, kerbau, ayam, kambing, limbah hijauan sisa tanaman.
"Kotoran Ayam yang dipelihara secara konvensional, tidak baik digunakan sebagai pupuk," ujar Nining. "Karena makanan ayam ini mengandung bahan kimia sehingga sulit terurai dengan proses apapun".
Nah, semakin kuatlah tekad para petani untuk mempraktikkan teknik pertanian alami di kampung nanti.
(Disarikan dari Laporan Kegiatan Nining Erlina Fitri/ink)
Posted on April 4, 2008 by htisainstekugm
Maraknya isu krisis energi di Indonesia mendorong masyarakat untuk mencari sumber energi alternatif, salah satunya adalah teknologi biogas. Teknologi Biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi dari sampah organik, secara anaerobik oleh bakteri methan, sehingga dihasilkan gas methan. Proses pemeliharaan pembangkit biogas cukup sederhana, dan energi yang dihasilkan cukup besar (8900 kkal/m³) gas methan murni. Gas methan yang dihasilkan dapat dibakar, sehingga dapat dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri dari kotoran. (www.10.ppi-jepang.org)
Memang, penemuan ini adalah inovasi baru yang mengejutkan. Mengingat bahwa di Indonesia terdapat sekitar 11,3 juta ekor sapi yang kalau 50% nya dimanfaatkan kotorannya untuk biogas, Indonesia bisa menghemat Rp 7,8 triliun per tahun. Bukankah ini penemuan yang brilliant?! Tapi…kotoran sapi kan najis. Lantas, bolehkah memanfaatkannya? Tepat sekali, seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa setiap amal perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (QS. Al-Zalzalah:7&8). Maka, sudah selayaknya kita meninjau kembali bagaimana Islam memandang pemanfaatan benda najis, seperti kotoran sapi tersebut. Terkait dengan hal tersebut, para ulama memang berbeda pendapat. Sebagian membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Hanya saja, pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengharamkan. Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi dzatnya sendiri, misalnya darah, Daging babi, kencing, dsb. Salah satu diantaranya:
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor,…’.” (QS. Al-An’am : 145)
Jika Allah telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Dengan demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan sabda Rasulullah SAW,
“Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun.” (HR.Bukhari)
Sementara kita ketahui bahwa bangkai terkategori barang najis. Walhasil, karena kotoran hewan adalah najis, maka pemanfaatan kotoran hewan untuk biogas termasuk perbuatan yang memanfaatkan najis, yang terkategori haram. Lagipula, biogas tidak hanya dapat diperoleh dengan pemanfaatan kotoran hewan (sapi), tetapi juga dapat dihasilkan dari pemanfaatan sampah organik lain seperti biji jarak. Dengan demikian, sungguh memprihatinkan, ketika pengembangan teknologi hanya memperhatikan sisi kemanfaatan saja tanpa mempertimbangkan status hukumnya dalam Islam, boleh atau tidak. Dan ini semua tidak lepas dari standar kehidupan sekarang yang tidak lagi menjadikan halal dan haram sebagai standar tapi hanya aspek manfaat saja. Kalau standarnya saja sudah salah, maka perilaku masyarakatnya pun bisa dipastikan juga salah. Apalagi ketika pemerintah membiarkan saja, akibatnya kesalahan (kemaksiatan) yang terjadi merupakan kesalahan struktural (massal). Ambil contoh ketika pemerintah membiarkan bahkan mengkoordinasikan pengembangan biogas dari kotoran hewan dan melibatkan banyak pihak dari berbagai elemen masyarakat, maka ini berarti pihak-pihak yang bersedia diajak tadi telah bergabung untuk melakukan kesalahan secara massal (struktural). Dan akan lebih fatal lagi ketika pengembangan energi biogas yang merupakan salah satu energi alternatif ini dijadikan sebagai fokus pengembangan energi. Karena sejatinya Indonesia masih memiliki cadangan energi utama yang sangat mampu mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Sementara sudah menjadi opini umum bahwa energi utama yang kita miliki (minyak bumi, gas alam, dll) telah dibiarkan oleh pemerintah untuk dikuasai asing (92% nya). Maka, pengembangan biogas selain tetap harus sesuai syariah (menggunakan bahan-bahan yang memang diperbolehkan) juga jangan sampai pengembangan energi alternatif ini membuat “bangsa kaya” ini terlupakan/teralihkan dari energi utama yang telah dimiliki, karena akar masalahnya bukan terletak pada ketiadaan energi (krisis energi) tapi lebih kepada pengerukan sumber-sumber energi kita untuk kepentingan asing akibat perizina pemerintah kepada mereka untuk memiliki dan mengelola sumber energi itu, sehingga hasilnya pun dinikmati hanya untuk mereka dan bukan untuk RAKYAT. Itulah letak perbedaan yang sangat signifikan antara pengurusan sistem sekarang dengan sistem Islam. Khilafah/sistem Islam, selain mengatur dan menjaga masyarakatnya agar senantiasa terikat dengan segenap aturan-aturan Islam, Khilafah Islamiyyah juga senantiasa membuat kebijakan yang tidak menyakiti masyarakat malah justru mensejahterakan mereka. Pemberian hak pengelolaan asset-asset rakyat, termasuk bidang energi kepada perusahaan-perusahaan swasta dan asing, tetapi pengelolaannya hanya dilakukan oleh Negara untuk dikembalikan kepada rakyat secara utuh, karena itu memang hak mereka. Oleh karenanya, saintis-saintis dalam sistem Khilafah akan menjadi saintis-saintis yang betul-betul mengaplikasikan dan memberikan keilmuannya untuk kesejahteraan masyarakat, bukan menjadi saintis oportunis yang mengakibatkan terjadinya “penyimpangan” penggunaan keilmuannya tidak untuk kesejahteraan masyarakat. Melainkan hanya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan asing baik disadari atau tidak, dan baik secara langsung atau tidak secara langsung, karena sistem sekarang memang sangat mengakomodasi “penyimpangan” hal tersebut.
Filed under: Bio Leaf | Tagged: biogas, energi
KOTORAN TERNAK PEMBAWA BERKAH
2007-09-26 08:43:03 by :
BIOGAS DI TANJUNG JABUNG TIMUR
KOTORAN TERNAK PEMBAWA BERKAH
Peternak sapi dan kerbau di desa Kota Baru Kecamatan Geragaii Kabupaten Tanjab Timur maju selangkah. Sejak diujicobakannya pembuatan bio gas di desa tersebut, para peternak semakin bergairah untuk meningkatkan skala usaha peternakannya karena ternyata kotoran ternak yang selama menumpuk tidak termanfaatkan dengan baik, bahkan menyebabkan lingkungan rumah mereka tidak bersih, sekarang memberikan nilai tambah yang lebih besar untuk peningkatan kualitas hidup dan perekonomian warga di desa eks trans tersebut .
Menurut pengakuan Pak Deni (54 tahun), salah seorang anggota kelompok tani ternak Suka Maju, sejak sebulan lalu istrinya telah menggunakan biogas asal kotoran ternak untuk memasak, layaknya ibu-ibu di kota yang menggunakan gas LPG untuk memasak. Peternak yang memiliki 7 ekor kerbau ini dapat menghemat uang keluar untuk membeli minyak tanah. ”Istri saya juga tidak perlu antri untuk mendapatkan minyak tanah,” katanya. Api yang dihasilkan oleh kotoran ternak tersebut tidak berbau dan berwarna biru, sama sekali tidak meninggalkan bekas di peralatan masak milik keluarga petani tersebut.
Keuntungan lebih besar dinikmati oleh Mugi (52 tahun), sang ketua kelompok yang selain beternak sapi juga memiliki usaha sampingan pembuatan tahu. Bio gas tersebut dipakai untuk mengolah sekitar 55 Kg kacang kedelai untuk menjadi tahu setiap harinya. Penghematan bahan bakar yang dilakukan cukup besar meski dia belum menghitung berapa rupiah yang dapat di hemat dari penggunaan kotoran gas tersebut.
Keuntungan lain yang diperoleh Pak Mugi adalah tersedianya ampas tahu untuk pakan tambahan bagi ternak sapinya. Setiap pagi dan sore ternaknya memperoleh jatah 2 ember ampas tahu atau sekitar 30 Kg. Tidak heran, jika petani asal Jogja ini memiliki rumah permanen yang cukup besar di hamparan lahan seluas seperempat hektar.
Teknologi pembuatan bio gas dari kotoran ternak mulai diujicobakan di desa Kota Baru pada awal bulan Maret tahun 2007. Dari 14 unit yang diujicobakan, 13 unit diantaranya berhasil menghasilkan gas, sedangkan 1 unit yang dicoba pertama kali mengalami kebocoran.
Untuk menghasilkan gas, peternak yang mendapatkan dana percontohan ini membangun kolam kotoran yang ditembok batu bata dengan ukuran sekitar 1,5 x 3 meter. Kolam ini kemudian ditutup rapat dengan plastik tebal agar gas yang dihasilkan tidak menguap ke udara. Sebuah alat pengatur gas digantung di atas kolam penampungan yang berfungsi mengatur pengeluaran gas ke alam bebas jika terdapat kelebihan gas. Alat pengatur ini sangat vital untuk menghindari terjadinya ledakan karena tekanan gas yang berlebihan.
Dari kolam kotoran tersebut, gas dialirkan ke rumah dengan menggunakan pipa gas kecil berdiameter 1,5 cm. Di langit-langit rumah, telah menunggu sebuah kantung plastik besar dan tebal berukuran sekitar 1 x 2 meter untuk menampung gas methane dari kolam tersebut. Gas tersebutlah yang kemudian dialirkan ke kompor gas. Semua komponen pembuatan jaringan biogas yang tergolong cukup sederhana ini beserta kompornya dibeli dari sebuah perusahaan di Bandung, Jawa Barat, tempat dimana mereka melaksanakan magang sebelum pengerjaan proyek ini dimulai.
Untuk menghasilkan gas pertama kali, diperlukan kotoran sebanyak 2 ton. Kotoran tersebut diaduk sedikit demi sedikit dengan komposisi setiap 50kg kotoran diaduk dengan penambahan 50 liter air. Pengadukan dilakukan di dalam sebuah galon ukuran 100 liter yang ditempatkan lebih tinggi dari kolam untuk memudahkan pengaliran kotoran ke kolam tersebut. Setelah adukan rata, sedikit demi sedikit kotoran encer itu dialirkan melalui lobang yang dibuat di bagian bawah galon tersebut. ”Kami menunggu selama 1 minggu sampai gas terkumpul cukup banyak dan dapat dialirkan ke rumah’ kata Syahmaliadi, PPL di desa tersebut yang menjadi pendamping kelompok dalam uji coba pembuatan bio gas tersebut. Untuk mendapatkan gas secara berkala, pengadukan dan pengaliran kotoran ke kolam penampungan cukup dilakukan setiap 3 atau 4 hari sekali, dengan komposisi 50 kg kotoran dan 50 lieter air.
Selain menghasilkan gas, kolam penampungan nantinya akan mengeluarkan kotoran yang tidak mengandung gas lagi. Kotoran ini merupakan pupuk kompos yang sangat baik untuk pemupukan tanaman. Mengingat kondisi tanah di Tanjab Timur yang memiliki kadar sulfat masam yang tinggi, keberadaan pupuk kompos dalam jumlah besar akan berguna untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk buatan dan lebih ramah lingkungan. Peternak di desa ini nampaknya perlu bersiap-siap untuk mendapatkan sumber pendapatan baru yaitu produksi pupuk kompos.
Baik peternak maupun PPL yang melaksanakan kegiatan ujicoba pembuatan biogas ini mengaku puas dengan hasil yang diperoleh. Magang yang dilaksanakan di Lembang Jawa Barat sebelum proyek bernilai 75 juta ini diujicobakan di Tanjab Timur, terbukti memberikan manfaat yang besar bagi mereka. Banyak warga desa lain berniat mengikuti jejak mereka untuk beternak karena untuk menghasilkan bio gas, tidak perlu memiliki ternak banyak. Kotoran dari 3 sampai 4 ekor ternak sapi sudah cukup menghasilkan biogas bagi pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga. (Ir.Asnelly Ridha Daulay, M.Nat Res Ecs).
[disnak Online]
Print Friendly Version PDF
DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAMBI
Email : info@disnak.pempropjambi.go.id
© 2007
Kami merekomendasikan Mozilla Firefox untuk menampilkan website ini.
Selasa, 14 Desember 2010
Biogas dari Kotoran Sapi
Diposting oleh
kedungpari
di
19.56
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
4 komentar:
blog baru ya mas???
iya mas...baru aja...
hehhehe]
uweeeh......Gaya arek e....atek gawe blog barang......tambah pinter ae....
www.cahjombang.anyar.blog e
ya mest lah mas...
Posting Komentar